Liputan6.com, Tokyo - Hari itu, 4 Januari 1955, Duta Besar Amerika Serikat, John Allison menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Jepang, Shigemitsu Mamoru. Isinya adalah permintaan maaf.
"Yang Mulia telah mengetahui keprihatinan yang mendalam dan penyesalan yang tulus dari pemerintah dan rakyat Amerika Serikat atas cedera yang dialami para nelayan Jepang...," demikian petikan surat yang disampaikan Dubes Allison seperti dikutip dari buku Troubled Apologies Among Japan, Korea, and the United States yang ditulis Alexis Dudden.
Permintaan maaf, yang disertai kompensasi tersebut, terkait insiden setahun sebelumnya, tepatnya pada 1 Maret 1954. Kala itu, AS melakukan uji bom hidrogen terbesarnya. Lokasi yang dipilih adalah dekat Bikini Atoll di Kepulauan Marshall.
Hasilnya tak terduga. Ledakan sekuat 15 megaton, 1.000 kali lebih kuat dari bom Hiroshima, memicu jatuhan (fallout) radioaktif yang berdampak hingga Australia, India, dan Jepang -- melampaui perimeter yang ditetapkan pihak AS.
Celakanya, saat itu, kapal nelayan Negeri Sakura, Daigo Fukuryu Maru (No. 5 Lucky Dragon) berada hanya sekitar 150 kilometer dari ledakan bom hidrogen tersebut.
Kapal kayu sepanjang 25 meter itu angkat sauh dari Pelabuhan Yaizu di Prefektur Shizuoka pada 22 Januari 1954, dinakhodai Hisakichi Tsutsui, pemuda 22 tahun yang pengalamannya belum matang.
Bahtera yang dibangun di Wakayama pada 1947 itu sudah bermasalah dengan mesinnya. Saat berada Pulau Midway pada 9 Februari, hal buruk kembali terjadi. Hampir setengah dari 330 alat pancing di Kapal Daigo Fukuryu Maru hilang akibat tersangkut terumbu karang.
Tak mau kembali dengan perasaan terhina karena hanya berhasil menangkap sedikit tuna, sang nakhoda memutuskan untuk pergi ke selatan, menuju tempat yang lebih kaya ikan, di sekitar Kepulauan Marshall.
Tidak ada seorang pun di kapal yang tahu bahwa lima bulan sebelumnya AS telah memberi tahu Badan Keselamatan Maritim Jepang bahwa akan ada uji coba senjata nuklir di Bikini Atoll, dengan zona terlarang yang diperluas ke arah timur.
Langit masih gelap pada Senin 1 Maret 1954 sekitar pukul 06.45. Para awak kapal berencana mengakhiri pemancingan pada hari itu. Bahan bakar dan makanan sudah menipis, sudah waktunya mereka kembali ke Yaizu. Kala itu mereka berada relatif dekat dengan lokasi uji coba, meski masih di luar zona aman.
Seperti dikutip dari Japan Times, Apa yang terjadi kemudian dijelaskan dalam buku The Day the Sun Rose in the West, yang ditulis berdasarkan pengakuan awak kapal Daigo Fukuryu Maru bernama Matakichi Oishi.
"Kilatan kuning terlihat dari jendela kapal. Bingung apa yang telah terjadi, saya melompat dari tempat tidur, berlari keluar ke dek dan tercengang. Jembatan, langit, dan laut seakan dicat dengan warna matahari terbenam yang menyala-nyala..."
Apa yang disaksikan Oishi adalah tes pertama yang dilakukan AS terhadap perangkat termonuklir berbahan bakar kering, dengan kode "Castle Bravo."
Dengan kekuatan 15 megaton, itu adalah uji coba nuklir terbesar yang pernah dilakukan oleh AS dan ledakan nuklir terbesar kelima dalam sejarah.
Di sisi lain, itu juga sebuah kecelakaan. Para perancang bom melakukan kesalahan teoritis. Ledakan yang terjadi ternyata 2,5 kali lebih kuat daripada yang dimaksud. Faktanya, itu adalah ledakan terbesar yang pernah dibuat oleh manusia, dan 1.000 kali lebih kuat dari ledakan yang pernah menghancurkan Hiroshima sembilan tahun sebelumnya.
AS, yang kala itu ketinggalan Uni Soviet dalam teknologi senjata nuklir, sedang mengejar ketinggalan.
Kapal Daigo Fukuryu Maru tak rusak oleh ledakan atau gelombang kejutnya. Namun, beberapa jam kemudian debu radioaktif berwarna putih dari karang teratomisasi, dalam gumpalan besar yang disemburkan oleh ledakan hingga ke tepi atmosfer, mulai menghujani kapal tersebut dan siapapun yang ada di atasnya.
"Dua jam berlalu, partikel putih menghujani kami seperti hujan es. Menembus tanpa ampun--mata, hidung, telinga, mulut. Saat itu, kami tak merasa itu berbahaya," kata Matakichi Oishi.
Sementara hujan partikel terus turun, para awak menghabiskan waktu enam jam untuk bersiap pulang. Pada malam yang sama, para kru mulai mengalami luka bakar di kulit dan gejala radiasi yang kian memburuk selama perjalanan selama dua minggu ke Yaizu.
Kemudian, uji coba pada shi no hai (abu kematian) yang jatuh di kapal mengungkap, apa yang dianggap debu itu ternyata campuran berbagai isotop radioaktif, termasuk strontium-90, cesium-137, selenium-141, dan uranium-237.
Kapal mencapai Yaizu pada 14 Maret 1954. Setelah instrumen Geiger mendeteksi radiasi pada jarak 30 meter, Daigo Fukuryu Maru ditarik ke bagian terpencil pelabuhan dan ditempatkan di bawah penjagaan polisi.
Kemudian, 23 awak kapalnya di karantina di rumah sakit di luar kota. Kepala mereka dicukur dan pakaian serta barang-barang milik mereka dikubur.
Jepang pun kemudian geger.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita kurang lengkap buka link di samping http://bit.ly/2shU5uZBagikan Berita Ini
0 Response to "4-1-1955: Horor Radiasi Nuklir Bom Hidrogen, AS Minta Maaf ke Jepang"
Post a Comment