Kisako Motoki baru berusia 10 tahun saat ia berlari sekuat tenaga mencari perlindungan ke sebuah jembatan. Ayah, ibu, dan saudara laki-lakinya semua tewas. Api membakar tubuh mereka.
Badai api, yang tingginya mencapai ratusan meter, didorong angin kencang yang bertiup mengubah wilayah seluas 40 kilometer di Tokyo jadi neraka.
"Aku melihat tubuh-tubuh terbakar yang meleleh menumpuk satu sama lain setinggi sebuah rumah," kata Motoki seperti dikutip dari ABC Australia.
"Aku juga melihat serpihan hitam, bagian tubuh manusia berserakan di mana-mana, juga jasad-jasad dalam air. Aku tidak percaya hal seperti ini terjadi."
Jiwa gadis kecil itu tak kuasa menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpampang di depan matanya. Motoki terguncang. Pikirannya sontak kosong.
"Sudah 70 tahun berlalu, namun jasad-jasad itu tak beranjak dari benakku," kata Motoki pada 2015 lalu. "Lebih mengerikan dari bayangan neraka."
Kini tak banyak yang mengingat insiden mengerikan itu. Pun dengan AS dan Jepang yang saat ini jadi sekutu dekat.
Namun, bagi salah satu penyintas, Haruyo Nihei, perisiwa itu tak boleh dilupakan. Ia menggelar seminar untuk anak-anak dan mendanai museum yang didedikasikan untuk para korban.
"Ada kemungkinan Jepang akan terlibat dalam perang di masa depan. Saya ingin anak-anak memahami bahwa perang menghancurkan segalanya -- keluarga, bangunan, dan budaya," kata dia.
Nihei juga ingin pemerintah Jepang dan AS mengakui dan meminta maaf atas pemboman bumi hangus atas Tokyo.
Menurut dia, klaim Amerika bahwa pemboman menargetkan pabrik amunisi adalah dusta belaka.
"Tidak ada pabrik militer besar di area yang dibom pada 9 Maret 1945. Mereka melakukannya sebagai hukuman (balas dendam)," kata Nihei. "Menurutku, mereka juga harus bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukannya."
Jenderal Angkatan Udara AS Curtis LeMay, orang yang memerintahkan serangan di seluruh Jepang, pernah mengatakan bahwa militer AS, "menghanguskan, merebus, memanggang lebih banyak orang hingga tewas di Tokyo pada malam itu ... daripada gabungan Hiroshima dan Nagasaki."
Sang jenderal juga mengakui, seandainya ia berada di pihak yang kalah, dia pasti akan didakwa dengan kejahatan perang.
Dan buktinya nyata ada. Di dalam ruang penyimpanan yang di dalam tanah, di bawah sebuah tugu peringatan di pusat Tokyo, tempat guci besar berisi abu lebih dari 100.000 warga sipil berada.
Sebagian besar dari korban tidak teridentifikasi. Namun, sebagian besar adalah perempuan, anak-anak dan orang tua. Kala itu, para pria berada di garis depan, sebagai serdadu.
Tak hanya itu peristiwa bersejarah pada 10 Maret. Pada 1876, Alexander Graham Bell melakukan panggilan telepon pertamanya. Sebuah upaya yang berhasil.
Panggilan telepon perdana itu ditujukan pada Thomas Watson. Ini yang ia ucapkan. "Watson, come here. I need you."
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita kurang lengkap buka link di samping https://ift.tt/2HoIp22Bagikan Berita Ini
0 Response to "10-3-1945: Tokyo Bak Neraka, 100 Ribu Orang Tewas dalam Semalam"
Post a Comment