:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1679087/original/035026900_1502716856-20170814-Retno-Marsudi-CMS-GM8.jpg)
Sebelumnya, pada 9 November 2017 lalu, Pengadilan Banding WTO (Appelate Body World Trade Organization) memutuskan tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya, tidak konsisten dengan aturan GATT 1994 (The General Agreement on Tarrifs and Trade 1994).
Kebijakan pembatasan impor Indonesia, menurut AS, dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) GATT mengenai penghapusan terhadap pembatasan jumlah impor (General Elimination on Quatitative Restriction).
WTO meminta Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan impornya sampai 22 Juli 2018. Meski telah melakukan berbagai peninjauan, AS selaku penggugat merasa hal itu tak cukup, dan akhirnya mengajukan rencana sanksi Rp 5 triliun pada 6 Agustus 2018.
Menyikapi hal tersebut, Perwakilan Tetap RI di PBB Hassan Kleib mengatakan dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com pada 7 Agustus 2018:
"Pihak AS masih melihat ada beberapa yang belum sesuai klausul dan karenanya meminta diadakan sidang di Badan Penyelesaian Sengketa WTO (DSB) sesuai permintaan nya tanggal 2 Agustus 2018 tersebut."
"RI tentunya akan kembali menjelaskan berbagai perubahan (revisi berbagai peraturan importasi) yang telah dilakukan sejak adanya keputusan akhir Panel dan Appellate Body WTO --yaitu pada 22 Juli 2018."
WTO sendiri, melalui Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) sendiri telah memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk meninjau kembali klausul-klausul yang diusulkan dalam mandat WTO.
"Para pihak memberitahu DSB bahwa mereka telah sepakat bahwa Indonesia akan memiliki lebih banyak waktu untuk membuat perubahan hukum yang diperlukan untuk mematuhi rekomendasi dan keputusan DSB," demikian seperti dikutip dari keterangan tertulis WTO.
"Dengan demikian, Amerika Serikat dan Selandia Baru tidak akan memulai proses lebih lanjut sehubungan dengan ukuran pada kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik sampai 19 bulan sejak tanggal adopsi laporan dalam sengketa ini, yaitu hingga 22 Juni 2019."
Ini menjadi ombak baru dalam upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan impor komoditas tersebut dari negara asing. Di sisi lain, Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, dianggap oleh negara asing pengekspor pangan sebagai pasar impor yang menguntungkan.
Pada kurun periode yang sama ketika AS mulai mengajukan gugatan ke WTO, Kementerian Pertanian RI (Kementan) mengalokasikan sebesar Rp 23,8 triliun untuk program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengungkapkan, anggaran tersebut akan dipakai untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas rempah-rempah.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga diberikan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu dialokasikan untuk benih dan pupuk tanaman perkebunan, seperti rempah-rempah, tanaman semusim, tanaman penyegar, dan tanaman tahunan.
Akan tetapi, kebijakan swasembada pangan yang diterapkan oleh Indonesia, acap kali dijadikan 'prekursor' bagi negara asing --terutama yang mengandalkan ekspor komoditas pangan ke RI-- untuk 'menggoyah' Jakarta lewat WTO.
Selain AS dan Selandia Baru yang mengajukan gugatan resmi ke WTO, ada belasan negara lain yang 'ikut menunggangi' persengketaan tersebut, antara lain: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India, Singapura dan Thailand.
Seperti dikutip dari laman resmi WTO, masing-masing negara itu, telah mengajukan konsultasi kepada Indonesia sejak kurun 2014-2017 agar Tanah Air melakukan peninjauan kembali atas kebijakan pembatasan impor tersebut.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita kurang lengkap buka link di samping https://ift.tt/2vvPjvSBagikan Berita Ini
0 Response to "Berencana Jatuhkan Sanksi Rp 5 Triliun Terkait Impor ke Indonesia, AS Mengaku Siap Berdialog"
Post a Comment