:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2554969/original/094937400_1545617931-Erupsi-Anak-Krakatau2.jpg)
Liputan6.com, Brussels - Pada hari Sabtu, 21 Desember 2018, sekitar pukul 21.00 WIB, tsunami melanda Selat Sunda yang terletak di antara pulau Jawa dan Sumatra. Banyak kota pesisir di wilayah tersebut terdampak dan mengalami kerusakan parah.
Setidaknya 430 orang dinyatakan meninggal dunia dan lebih dari 1.000 lainnya luka-luka.
Karena tidak dipicu gempa tektonik, tsunami Selat Sunda menerjang tanpa peringatan. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belakangan menyimpulkan, gelombang besar yang menghantam Anyer dan pesisir Lampung disebabkan oleh longsor akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Fenomena tersebut pun menarik perhatian para peneliti dunia, tak terkecuali dari Uni Eropa. Para pakar di European Geosciences Union (EGU), menelaah bencana alam itu.
Berdasarkan laporan awal yang dikeluarkan oleh EGU dalam situs web resminya www.egu.eu, apa persisnya yang menyebabkan longsor belum diketahui.
"Kami belum mengetahuinya, tetapi citra satelit Sentinel awal menunjukkan adanya kolapsnya lereng sisi barat yang signifikan," kata Mike Burton, Presiden Divisi EGU tentang Geokimia, Mineralogi, Petrologi & Vulkanologi seperti dikutip oleh Liputan6.com pada Jumat (28/12/2018).
Menurut EGU, Anak Krakatau berada dalam fase aktivitas yang menguat. Gambar yang ditangkap oleh Sentinel mengkonfirmasi bahwa 64 hektar bagian barat longsor ke laut dan peristiwa kolaps tersebut kemungkinan besar merupakan penyebab tsunami yang melanda pesisir Selat Sunda.
Pada tahun 2012, EGU telah menerbitkan sebuah studi tentang kemungkinan adanya keruntuhan Anak Krakatau dan mensimulasikan tsunami yang diprediksi bakal terjadi.
Lalu, bagaimana letusan gunung berapi bisa memicu tsunami dan seberapa umum hal ini terjadi?
Mike Burton menuturkan, "ada beberapa proses di mana letusan gunung berapi dapat memicu tsunami. Aliran piroklastik dalam jumlah besar yang memasuki laut, ledakan bawah laut dan longsor di sisi gunung. Sebuah gunung berapi dapat tumbuh dengan cepat melalui aliran lava, dan pertumbuhan ini dapat menciptakan ketidakstabilan, sehingga letusan kecil dapat memicu kolaps atau tanah longsor. Tanah longsor inilah yang memantik gelombang besar yang mampu menciptakan tsunami. Longsor subaerial kecil dapat menghasilkan longsor bawah laut yang lebih besar."
Kasus yang terjadi pada Anak Krakatau, dikatakan oleh EGU, sama seperti gunung Stromboli yang ada di Italia. Stromboli merupakan sebuah pulau kecil di Laut Tirrhenia --lepas pantai utara Sisilia-- dan termasuk tiga gunung berapi terbesar di negara tersebut.
Penelusuran Liputan6.com, berdasarkan data Pusat Riset Gabungan Komisi Uni Eropa, pada 1930, gempa vulkanik dan longsor Gunung Stromboli di Italia memicu gelombang setinggi 2 meter.
Science Direct pada 2015 bahkan melaporkan bahwa setiap 100 tahun atau lebih, ada peristiwa alam yang menghebohkan dunia, seperti runtuhnya Pulau Ritter tahun 1888 di mana 4,2 km kubik material menciptakan gelombang tsunami besar, dengan ketinggian hingga 4,5 meter di Rabaul, berjarak 540 km dari bibir pantai pulau.
Sementara itu, letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883 mendatangkan tsunami yang amat dahsyat ketimbang tsunami Selat Sunda pada 21 Desember 2018.
Peristiwa ini, kata EGU, kemungkinan disebabkan oleh adanya kombinasi antara masuknya aliran piroklastik ke laut dan phreatomagmatisme, di mana bebatuan panas mengalirkan air laut ke uap yang mampu menghasilkan ledakan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi. Abu vulkanik setinggi 2.500 meter terlihat keluar dari kawah gunung.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Kajian Ahli Uni Eropa soal Erupsi dan Tsunami Anak Krakatau"
Post a Comment