Selain andilnya dalam kebijakan luar negeri AS yang keras terhadap Venezuela, John Bolton juga disebut berkontribusi dalam keputusan Washington untuk mundur dalam 'kesepakatan nuklir Iran' atau Joint Comprehensive Plan of Action pada Mei 2018, yang diteken Iran bersama dengan AS (di bawah pemerintahan Presiden Baracck Obama), Dewan Keamanan PBB dan Eropa pada 2015 silam.
Dan ternyata, agresivitasnya terhadap Iran atau sikapnya yang 'hawkish' bukan barang baru.
Pada 2007, selepas menjabat sebagai Duta Besar AS untuk PBB, Bolton pernah mengatakan, "Pada akhirnya, satu-satunya hal yang akan menghentikan Iran dari mendapatkan senjata nuklir adalah perubahan rezim di Teheran."
Agresivitas itu hanya semakin meningkat ketika ia telah menjabat sebagai penasihat kepresidenan AS bidang keamanan nasional di bawah Trump.
Tentang Iran dan mundurnya AS dari JCPOA, Bolton mengatakan pada Juli 2018, "Presiden Trump mengatakan kepada saya bahwa jika Iran melakukan sesuatu yang negatif, mereka akan membayar harga seperti beberapa negara yang pernah membayar," ujarnya dalam sebuah komentar yang mengindikasikan bahwa Iran bisa bernasib sama dengan Irak ketika Amerika menginvasi Negeri 1001 Malam pada 2003.
Ia juga pernah mengatakan bawha "negosiasi ... adalah buang-buang waktu, dan perjanjian pada dasarnya hanya dokumen politik," catat Steve Feldstein, associate professor School of Public Service di Boise State University dalam sebuah artikel untuk The Conversation pada 2018 lalu.
Bolton dewasa ini sedang mencoba mengulangi perannya pada 2003 sebagai pengadvokasi perang, ketika ia masih menjabat sebagai asisten menteri luar negeri bidang pengendalian senjata di bawah periode pertama presiden George W Bush. Dia pernah mengatakan kepada BBC bahwa "AS yakin Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal (WMD) dan fasilitas produksi di Irak" --justifikasi ini kemudian dijadikan pendorong bagi Amerika untuk menginvasi Irak.
Namun kemudian, justifikasi itu dianggap keliru dan tidak ada bukti bahwa Saddam Hussein memiliki WMD, dan beberapa pejabat AS yang pernah mendukung perang mungkin telah mempertimbangkan dua kali sebelum melontarkan 'opsi militer' sejak saat itu, mengingat besarnya korban manusia dan destabilisasi kawasan.
Tetapi, Bolton berpendapat bahwa menggulingkan Saddam sepadan dengan usaha --bahkan jika keputusan justifikasi yang diambil untuk invasi tidak selalu benar.
Kini, pria berusia 70 tahun itu ingin melakukan tindakan serupa seperti pada masa-masa kejayaannya era-2000-an lalu, menerapkan kebijakannya yang 'hawkish' atau 'war hawk' di Iran atau Venezuela.
"Pada Bolton, Trump memiliki seorang komandan, 'inisiator perang' yang sangat peka. Tapi perbedaannya kali ini, bagaimanapun, adalah bahwa tidak ada 9/11 untuk perlindungan politik. Dan yang lebih meresahkan lagi, Irak bukanlah Iran," kata Michael Morford, analis untuk Truman National Security Project dalam kolom di USA Today.
"Bolton sekarang berbisik di telinga Presiden Donald Trump, dan Amerika Serikat sedang menuju jalur yang karib. Pada Trump, Bolton menemukan seseorang yang fokus bukan pada keamanan nasional tetapi pada pembongkaran tindakan presiden yang mendahului masa jabatannya. Trump tidak tertarik pada negara Iran, rakyat Iran, atau ancaman Iran apa pun. Dia hanya membenci mantan Presiden Barack Obama dan JCPOA, yang lebih dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran yang dinegosiasikan oleh pemerintahan Obama," lanjut Morford spesifik tentang kebijakan luar negeri AS terhadap Iran.
Tentang Venezuela, John Bolton pada November 2018, mengisyaratkan pendekatan yang lebih keras ke wilayah tersebut. Dalam pidatonya, Bolton mencap Venezuela sebagai bagian dari "troika tirani" dan "segitiga teror" bersama dengan Kuba dan Nikaragua, yang para pemimpinnya dia tuduh sebagai penyebab "penderitaan manusia yang hebat dan ketidakstabilan regional."
Bolton bersumpah AS akan mengambil "tindakan langsung "terhadap rezim mereka, dan melemparkan peringatan yang tidak menyenangkan bahwa "hari perhitungan mereka sudah menunggu."
Pada bulan yang sama, Bolton mengunjungi Presiden Brasil Jair Bolsonaro untuk meminta bantuannya dalam menekan Presiden Nicolas Maduro --diplomasi pribadi yang terbayar ketika Brasil bergabung dengan AS dalam mengakui Guaido, bersama dengan Kolombia, pemerintah lain yang berhaluan kanan-konservatif yang telah dikembangkan oleh Bolton.
Meski ia menghadapi penolakan dari diplomat karier di Kementerian Luar Negeri yang khawatir tentang kebijakan itu, Bolton membentuk front persatuan dengan Menlu Mike Pompeo, mendukung pengangkatan Elliott Abrams, seorang 'hawkish' yang bekerja bersamanya di pemerintahan George W Bush, sebagai utusan untuk membantu mengarahkan kebijakan.
"Episode ini menunjukkan sisi diplomatik Bolton yang mungkin kurang dihargai --meskipun mantan pejabat tinggi pemerintahan itu juga memperingatkan bahwa jenis intervensi militer yang menurut Presiden Trump telah direnungkan akan menjadi 'bencana' bagi kepentingan AS di wilayah Amerika Latin," kata Elise Labott, kontributor untuk majalah politik AS Politico.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita kurang lengkap buka link di samping https://ift.tt/2XTzKL0Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kebijakan Agresif Penasihat Donald Trump Soal Irak, Iran hingga Venezuela"
Post a Comment