Liputan6.com, Canberra - Wanita berjilbab di tempat keramaian seperti mall dan pusat perbelanjaan paling sering mengalami serangan berbau Islamophobia di Australia. Adanya anak-anak bersama mereka ternyata tak menghentikan tindak pelecehan, dan dalam beberapa kasus malah meningkatkannya.
Salah satu korban bernama Nadia Saeed, mengaku pernah mengalami pelecehan verbal di Brisbane justru di saat dirinya sedang mengorganisir acara untuk menghormati para korban serangan teror Christchurch.
"Saya tak peduli kalau sesamamu (umat Islam) terbunuh di Christchurch. Kamu pun seharusnya ditembak saja," kata Nadia, mengutip ucapan seorang pria yang mendekatinya di jalan, dikutip dari ABC Indonesia, Selasa (19/11/2019).
Wanita berusia 21 tahun ini mengaku tak tahu harus berbuat apa pada saat itu. "Saya gemetaran," ujarnya kepada ABC News.
Nadia menduga apa yang dialaminya ini erat kaitannya dengan jilbab yang dia kenakan - penanda fisik bahwa dia seorang Muslim.
Apa yang dialami Nadia ini sejalan dengan hasil penelitian tentang Islamofobia dari Charles Sturt University (CSU) Australia, yang menyebutkan bahwa wanita berjilbab paling berisiko mengalami pelecehan.
Riset ini menganalisis ratusan laporan insiden Islamofobia di Australia. Dari ratusan kejadian, hanya dalam 10 kasus ada orang yang menghentikan pelecehan dan membantu korban.
Salah satunya, dilakukan anggota DPR negara bagian Queensland, Duncan Pegg, yang kebetulan menyaksikan apa yang dialami Nadia.
Pegg saat itu mendekati pelaku dan mengancam akan memanggil polisi jika orang itu tidak pergi dari sana.
"Dia sangat agresif dan marah," ujar politisi dari Partai Buruh ini. "Saya sendiri sangat terpukul apalagi yang mengalaminya langsung."
"Artinya, ini bisa terjadi dimana saja. Kejadiannya itu tengah hari di depan toko penjual daging ayam halal," ujar Duncan Pegg.
Diskriminasi Terhadap Wanita Berjilbab
Nadia melaporkan apa yang dialaminya itu ke lembaga yang mencatat kejadian Islamophobia.
Data dari lembaga tersebut yang kemudian diteliti oleh tim dari Centre for Islamic Studies and Civilisation pada CSU.
Laporan riset yang dirilis hari Senin (18/11/2019) ini menganalisis 349 insiden yang dilaporkan antara tahun 2016 dan 2017.
Ditemukan mayoritas pelaku adalah kaum pria. Sedangkan korbannya, 70 persen adalah wanita yang hampir semuanya mengenakan jilbab atau penutup kepala lainnya. 41 persen dari laporan yang masuk dibuat oleh saksi, bukan oleh korban. Demikian dikutip dari ABC Indonesia, Senin (18/11/2019).
"Hal ini menunjukkan mayoritas orang di lokasi kejadian tidak mengabaikan apa yang terjadi, hanya saja mereka tak melakukan intervensi," kata laporan itu.
"Mungkin karena mereka tidak tahu bagaimana melakukannya tanpa membahayakan diri sendiri," katanya.
Dalam salah satu kejadian, seorang saksi melihat pelaku sengaja menyenggol wanita berjilbab yang sedang jalan kaki bersama anak balitanya.
"Korban tidak terjatuh tapi dia terlihat sangat ketakutan. Dan tak seorang pun yang berbuat apa-apa," kata saksi itu.
"Saya ingin bereaksi tapi urung saya lakukan karena pelaku badannya dua kali lebih tinggi. Wanita itu sendiri masih aman jadi saya pergi saja," tambahnya.
Saksi ini kemudian melaporkan apa yang dilihatnya ke lembaga pencatatan Islamophobia.
Laporan dari CSU ini merupakan riset kedua yang dilakukan sejak lembaga pencatatan Islamophobia dimulai tahun 2014.
Penulis laporan riset Dr Derya Iner mengaku khawatir karena serangan yang menyebabkan korbannya masuk RS justru meningkat dari 2 persen menjadi 5 persen.
Dicontohkan salah satu kejadian, seorang ibu dan anaknya sedang menyeberang ketika sengaja ditabrak orang.
Pelaku memundurkan mobilnya, dan kembali menabrak korban di saat ibu itu berusaha melindungi anaknya. Korban terguling ke kap mobil lalu terjatuh ke jalan.
Terjadi di Pusat Keramaian
Laporan ini menyebutkan, serangan Islamofobia di Australia jumlahnya relatif sama, namun lokasinya mengalami perubahan.
Disebutkan, pelaku kini semakin berani melakukan pelecehan di tempat umum yang dijaga petugas keamanan dan dilengkapi kamera CCTV. Jumlahnya naik 30 persen.
"Kehadiran penjaga keamanan dan kamera di pusat-pusat perbelanjaan tidak efektif mencegah pelaku. Begitu pula kehadiran orang ramai," kata laporan itu.
Tempat kedua yang paling sering terjadi serangan Islamophobia adalah di sekolah dan universitas.
Laporan ini menyebutkan penghinaan rasis dialami korban dari siswa lain, guru, pelatih olahraga, dan bahkan kepala sekolah.
Selain itu, disebutkan bahwa kehadiran anak kecil ternyata tidak menghalangi terjadinya perbuatan Islamophobia.
Dalam beberapa kasus, kehadiran anak-anak ini justru meningkatkan kebencian pelaku.
Hal itu dialami Syed Shah bersama anak-anaknya saat naik kereta api di Brisbane.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Riset Charles Sturt University: Fobia Islam Terasa Semakin Nyata di Australia"
Post a Comment